Selasa, 10 November 2009

Turki

Writen By: M. Nazuril Ikhwan zubir hakim

Pembaharuan di Turki sudah dimulai sejak Sultan Mahmud II (1785—M) berkuasa. Sultan ini secara radikal memulai gerakannya merombak struktur pengelolaan kenegaraan antara eksekutif dan yudikatif. Di bidang hukum, ia memilah antara urusan hukum Islam dan hukum Barat (sekuler). Selain pembaharuan di bidang militer, ia juga merubah kurikulum pendidikan menjadi lebih apresiatif dengan materi-materi bacaan dari Barat. Banyak pelajar yang atas perintahnya dikirim untuk belajar ilmu pengetahuan dan teknologi ke Eropa. Ide-ide pembaharuannya ini kemudian dilanjutkan oleh gerakan Tanzimat dengan tokoh sentralnya Mustafa Rasyid Pasya (1800—M) dan Mustafa Sami. Selain tokoh-tokoh tersebut, Shadiq Rif’at (1807—M) merupakan figur terkemuka yang menyerukan perlunya jaminan hak-hak asasi bagi warga negara di samping keharusan pemerintah untuk bersikap demokratis dan tidak korup agar tercipta kemakmuran dan kemajuan. Ide-ide pembaharuan Tanzimat selanjutnya diusung oleh gerakan Usmani Muda yang kritis terhadap absolutisme kekuasaan kerajaan Turki dengan tokohnya: Ziya Pasya (1825—M) dan Namik Kemal (1840-1888 M). Gerakan pada puncaknya bermaksud menumbangkan kekuasaan Sultan Abdul Hamid yang berakhir kegagalan. Sebab-sebab kegagalannya antara lain: (1) Ide yang diusungnya tidak sepenuhnya terpahami oleh kalangan istana; (2) Gerakannya tidak memiliki basis dukungan yang cukup dari kalangan menengah yang bisa menjembataninya berhubungan dengan kalangan lapisan bawah. Jadi cenderung bersifat elitis dan eksklusif; (3) Tidak adanya kekuatan yang cukup untuk menandingi pilar-pilar kekuasaan Sultan. Dengan semakin absolutnya kediktatoran Sultan, memicu munculnya kaum oposan dari beragam kalangan. Salah satunya adalah gerakan Turki Muda di bawah kepemimpinan Ahmed Riza, Mehmed Murad dan Pangeran Sihabuddin. Dari ketiga tokoh yang telah akrab bersentuhan dengan ide-ide Barat ini lahir ide-ide rekonstruksi Turki menjadi negara konstitusional dengan struktur yang terdesentralisasi. Jalur pendidikan tetap menjadi prioritas sebagai instrumen perubahan yang vital. Pemuka Turki Muda tersebut kemudian bergabung bersama kalangan militer dan elemen lainnya dalam kelompok Persatuan dan Kemajuan (Ittihad ve Terekki) yang menginisiasi pemberontakan tahun1908 M. Sultan Abdul Hamid akhirnya menerima tuntutan untuk mengadakan pemilu untuk membentuk parlemen yang kemudian diketuai oleh Ahmed Riza. Peristiwa politik tersebut mempengaruhi stabilitas negara, dengan tanpa dukungan dari kelompok ulama konservatif dan tarekat Bektasyi yang berpengaruh, maka Sultan Mehmed V akhirnya naik ke tampuk kekuasaan. Pemilu selanjutnya diadakan kembali tahun 1912 M yang dimenangkan oleh kelompok Ittihad ve Terekki. Kekuasaan selanjutnya dipegang oleh wakil dari kalangan militer di bawah Enver Pasya, Jemal Pasya, dan Talat Pasya. Modernisasi Turki berlangsung kembali di segala aspeknya.
Dari sejarah pembaharuan Turki selanjutnya didapati 3 (tiga) orientasi gerakan yang berbeda: (1) Tradisionalis, yang kukuh dengan ide Islamisme dan perlu tegaknya pemerintahan Islam. Tokoh utamanya adalah Mehmed Akif (1870-1938 M); (2) Nasionalis, yang mengembangkan ide pan-Turkisme yang bercita-cita tegaknya negara Turki yang memiliki identitas kultural otentik yang khas dan berbeda dari masyarakat lainnya. Tokoh sayap gerakan ini adalah Zia Gokalp (1875-1924 M); (3) “Modernis”, yang bereaksi terhadap kelompok tradisionalis dengan mengusung Islam rasional yang akrab dengan ide-ide Barat. Mereka menyerukan perlunya masyarakat Turki mengambil pola Barat bagi kemajuan negerinya. Dalam banyak hal ketiga aliran ini memiliki perbedaan pandangan yang khas. Dalam soal institusi kenegaraan misalnya, kaum tradisionalis melihat perlunya negara Islam yang menerapkan hukum-hukum Tuhan. Kaum modernis justru menganjurkan pemisahan antara agama dan negara. Sementara kaum nasionalis lebih melihat pada urgensitas langkah yang dapat mereduksi peran mahkamah syari’ah di bawah Syaikh al-Islam yang terlampau berlebihan. Dalam bidang ekonomi, kaum modernis menganjurkan adopsi sistem kapitalisme dan liberalisme yang dikecam oleh kaum tradisionalis sebagai sistem yang sama buruknya dengan sosialisme dan komunisme. Khusus terkait bunga bank, kaum nasionalis tidak sepakat dengan kaum tradisionalis tentang keharamannya. Menurut mereka, yang diharamkan oleh al-Qur’an adalah bunga dalam transaksi jual-beli uang, bukan bunga bank dari menyewakan atau meminjamkan uang. Sementara di bidang pendidikan, kaum modernis menuntut kebebasan pendidikan dan mimbar akademik dengan memasukkan materi-materi filsafat, logika dan pengetahuan Barat lainnya. Sisi lain, kaum tradisionalis yang takut erosi terhadap identitas Islam karena pengaruh ilmu-ilmu Barat cenderung mempertahankan sistem pendidikan madrasah. Disini kaum nasionalis lebih berkeinginan membangun sistem pendidikan yang berakar dari nilai-nilai kultural yang asli dari bangsa Turki. Khusus mengenai masalah perempuan, kalangan modernis menyerukan ide-ide persamaan hal termasuk menyerang “kerudung” sebagai simbol yang memasung perempuan. Pemahaman ini jelas ditentang keras oleh kalangan tradisionalis. Adapun kaum nasionalis tampaknya berpihak pada pemikiran atas perlunya partisipasi publik bagi perempuan di bidang sosial maupun ekonomi. Soal poligami, kaum nasionalis menyerukan penghapusannya.
Demikianlah, pertelingkahan gerakan pembaharuan di beberapa wilayah itu yang pada gilirannya menginspirasi kemunculan gerakan sejenis di belahan dunia Islam lainnya. Dalam beragam corak dan orientasinya, gerakan pembaharuan Islam ini senantiasa menyuarakan ide dinamisasi, emansipasi dan otentifikasi. Islam dipandang sebagai ajaran yang senantiasa mendorong umatnya untuk bersifat optimis, rasional dan dinamis. Islam juga terbukti menjadi landasan atau setidaknya referensi ideologis yang kuat bagi amplifikasi (penguatan) perlawanan menentang penjajahan dan dominasi eksternal (Barat) maupun represi dan absolutisme internal (penguasa diktator). Lebih daripada itu semua, Islam dengan beragam kadar tingkatannya juga selalu menarik untuk dijadikan simbol identitas yang memberi dasar argumentasi orisinalitas (otentisitas) perjuangan umat Islam. Beberapa rumusan konseptualisasi seperti: pentingnya purifikasi (pemurnian) pemahaman Islam dari takhayul dan sejenisnya; perlu dibukanya kembali pintu ijtihad; seruan untuk kembali kepada sumber ajaran yang asli yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah; serta ajakan kemerdekaan berfikir di samping keyakinan bahwa Islam bersifat kompatibel (mampu berkesesuaian) dengan perkembangan intelektual zamannya; kesemuanyanya itu kiranya dapat dipahami sebagai bagian dari upaya dan cita-cita besar umat ini untuk dapat menyaksikan kembalinya peradaban dan kebudayaan dunia yang bersandar kepada tatanan moralitas yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan universal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar